Saturday, October 22, 2011


Jalanan masih saja berdebu. Sama seperti kemarin. Lulu menatap kesal pada supir angkot yang ditumpanginya. Selalu saja begitu. Berhenti di tempat yang sama untuk menunggu penumpang. Di depan mall terbesar di kota yang memiliki tingkat suhu tinggi ini. Lulu menyumpah serapah dalam hati. Sebentar lagi pertandingan futsal antar fakultas di kampusnya akan dimulai. Lulu ikut sebagai salah satu peserta. Meskipun perempuan, tapi Lulu jenis perempuan yang tangguh. Tendangannya saja mengalahkan tendangan Si Dodi ketua kelasnya. Karena itu Lulu tetap diikutsertakan dalam tim futsal fakultasnya. Meskipun hampir semua anggota tim adalah laki-laki. Lulu tak peduli. Baginya selama ia mampu mengapa tidak?
Permainan telah dimulai sejak 10 menit yang lalu ketika Lulu sampai di lapangan futsal. Bergegas Lulu mengganti pakaian dengan kostum timnya.
            Buruan Lu…” teriak Dodi dari tengah lapangan.
Lulu mengacungkan jempolnya. Kemudian masuk ke lapangan menggantikan Roni. Dengan sigap Lulu mengoper bola. Memberi umpan hingga sebuah tendangan membobol gawang lawan. Pertandingan usai  dengan skor 3 – 1 untuk tim Lulu.
            “ Lho kamu kenapa Lu? Kita kan menang, kok kamu nggak bersemangat gitu?” tanya Dodi. Lulu cemberut dan menghempaskan tubuhnya di kursi ruang ganti. Ia mengangkat kaki. Dan olala…ternyata sepatunya robek di bagian bawah dekat ujung kaki. Dodi tertawa terpingkal-pingkal melihatnya. Secepat mungkin Lulu membekap mulut Dodi dan mengancamnya dengan kepalan tangan.
            Lagian udah tahu mau main bola, kok kamu pakai sepatu kets sih?” Dodi masih menahan tawa.
            “Aku nggak punya sepatu lain Dod. Apa kamu pernah melihat aku ke kampus memakai sepatu selain sepatu ini? Kamu pikir aku bisa dengan mudah menghamburkan uang 200 ribu untuk membeli sepatu bola seperti kamu?!” Lulu balik bertanya dan matanya menatap tajam setengah menggugat pada sepatu bola baru milik Dodi.
            “Maaf Lu…” Dodi tak bisa berkata apa-apa lagi.
Lulu bangkit berdiri meninggalkan Dodi. Ia menyambar ranselnya dan melangkah gontai menuju jalan raya menyetop angkot. Lulu mau pulang. Ingin cepat-cepat menemui Mama. Lulu ingin sekali ini saja memohon pada Mama untuk minta sepatu baru. Dodi benar. Tidak seharusnya ia main bola memakai sepatu kets.
***
Sampai di rumah Lulu menemukan Mama masih sibuk dengan kain-kain yang dijahitnya. Mama adalah wanita yang tegar. Semenjak Papa meninggal, Mama tak pernah menikah lagi. Ia menjahit dan berjualan kue untuk menghidupi Lulu dan Antoni. Lulu berdiri di samping Mama.
            “ Lho kok cepet pulangnya Lu? Bukannya kamu bilang mau pulang sore, mau ke rumah Indah dulu untuk ngerjain tugas?” tanya Mama.
            “ Nggak jadi Ma. Lulu buat tugasnya di rumah aja…” jawab Lulu.
            “ Lu…besok kamu wakili Mama menghadap kepala sekolahnya Antoni ya, Mama nggak sempat Lu, banyak jahitan yang harus diselesaikan, supaya Antoni bisa bayar SPP nya.” Mama menatap Lulu, membuat Lulu tak tega untuk menolaknya. Lulu mengangguk.
            “Dalam rangka apa Ma? Kok sampai kepala sekolahnya Antoni memanggil Mama?” tanya Lulu sambil melihat-lihat baju seragam waiter sebuah restoran yang sudah selesai dijahit Mama.
            “ Antoni telat bayar SPP bulan ini Lu.” jawab Mama. Pandangan Lulu pada baju-baju seragam yang digantung  langsung tersentak. Sepatu kets melayang-layang dalam pandangan Lulu. Beragam perasaan berkecamuk dalam dada Lulu.
            “Ma, Lulu ke kamar dulu ya,” pamit Lulu yang dijawab dengan anggukan oleh Mama.
***
Lulu duduk di depan jendela kamarnya menatap ke luar. Memandangi rumpun melati yang sedang berbunga. Tiga tahun yang lalu, ketika itu Lulu masih kelas 3 SMA. Sedang sibuk-sibuknya Lulu menghadapi UN. Tiba-tiba Papa meninggalkan semua orang-orang yang mencintainya karena mengidap penyakit liver. Lulu sedih sekali. Semangatnya hilang. Nyaris ia tak mengikuti UN. Tapi Mama menguatkan hatinya, Mama memberikan contoh ketegaran padanya.
            “ Lulu harus tetap semangat. Buat Mama bangga! Yakinlah seandainya Papa masih ada, Papa pasti tak ingin melihat Lulu rapuh dan lemah.” ucap Mama ketika melihat Lulu malas belajar untuk mempersiapkan UN.
Kata-kata Mama telah menjadi cambuk bagi Lulu untuk bangkit. Perjuangan dan ketegaran Mama menjalani hidup telah menjadikan Lulu sebagai seseorang yang selalu optimis. Mama juga yang mendorong Lulu untuk tetap meneruskan kuliah setelah tamat SMA.
“Mama akan melakukan apa saja untuk kebahagiaan Lulu dan Antoni.” Mama meyakinkan Lulu ketika Lulu tamat SMA dan ingin bekerja saja untuk meringankan beban Mama.
Begitulah. Lulu akhirnya melanjutkan kuliah di sebuah PTN. Sebelum berangkat kuliah Lulu selalu mempunyai rutinitas menjual koran keliling kompleks rumahnya dengan sepedanya. Bagaimanapun Lulu tetap ingin meringankan beban Mama. Kerja keras Lulu dalam belajar berbuah manis. Lulu selalu mendapatkan beasiswa dari fakultasnya karena nilai-nilainya yang luar biasa.
            Lulu mengalihkan pandangan matanya kepada sepatu kets yang terpuruk di belakang pintu kamarnya. Warnanya hitam dan putih. Sudah sedikit kusam. Dimana-mana sudah terlihat goresan-goresan terkikis aspal jalanan. Tidak ada yang istimewa pada penampilan sepatu kets itu. Tapi bagi Lulu sepatu itu sangat berharga. Satu-satu nya sepatu yang dimiliki Lulu semenjak semester dua kuliah di fakultas Psikologi. Sekarang Lulu sudah semester empat, sudah cukup lama Lulu bertahan dengan sepatu kets itu. Sepatu yang selalu menemaninya kemana saja. Saat pagi mengantarkan koran ke rumah-rumah langganannya, pergi ke kampus, ke pesta ulang tahun teman-temannya, bahkan ke pesta perkawinan dosennya akhir bulan kemarin Lulu juga memakai sepatu kets itu. Lulu tak peduli dengan penampilan teman-temannya yang sering gonta-ganti sepatu, sandal atau aksesoris lainnya. Lulu selalu menahan diri untuk tak terbujuk teman-temannya membeli barang-barang yang tidak terlalu penting. Lulu tahu bagaimana sulitnya mencari uang, Lulu tak pernah ingin menyulitkan Mama.
            Sekarang sepatu itu sudah hampir tamat riwayatnya. Lulu bimbang. Tak mungkin memaksa Mama untuk membeli sepatu baru, sementara Mama masih kesulitan untuk membayar SPP Antoni. Lulu melirik celengan babinya.
Dengan sekali hempas sudah bertaburan uang kertas dan uang  recehan di lantai kamarnya. Lulu bersimpuh di lantai menghitung uang-uang itu. Rp.264.800. Lulu tersenyum. Cepat-cepat ia memasukkan uang itu ke dalam dompetnya. Disambarnya tas ransel dan dengan tergesa ditutupnya pintu kamar. Lulu baru saja ingin pamit pada Mama untuk membeli sepatu kets baru. Tetapi sebuah ucapan Mama membuat semangatnya lenyap menjadi debu.
            “ Tante Rea barusan sms, Lu. Dia bilang mau kesini untuk menagih uang sewa rumah. Padahal uang Mama kurang 200 ribu lagi. Kamu punya uang nggak, Lu? Kalau ada Mama pinjam dulu ya…”
            Lulu tak kuasa memandang mata Mama yang sangat berharap padanya. Mata Lulu berkaca-kaca dan bayangan sepatu kets itu mulai memudar.

Asrul Rahmawati (Fakultas Ilmu Komunikasi Umri)

Bookmark and Share

1 komentar:

Tanto said...

Terkadang kita harus melupakan dulu kesenangan kita, untuk mengatasi permasalahan yang lain. Terus semangat ya.

Post a Comment

Kritik,Saran dan Tanggapan Anda Sangat Kami Harapkan
[NO SPAM, SARA, PORNOGRAFI]
Setiap Komentar* akan di Ikutkan dalam Program Top Komentar yang Berhadiah Pulsa Elektrik senilai Rp.10.000,- dan Rp.5.000,- yang di Berikan dua bulan sekali
*Syarat Ketentuan berlaku baca selengkapnya

 
The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di Dadaku Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net