Aku baru tiba di rumah ketika papa keluar. Sudah satu tahun ini papa memang jarang di rumah. Mama bilang padaku papa sibuk urusan di luar kota. Jarang sekali aku bertemu dengannya. Dan komunikasi pun hanya lewat telepon. Itu pun aku yang menelepon karena kangen. Sikap papa dingin waktu itu. Aku menyalami papa sambil bertanya.
“Papa kemana lagi? Syifa pengen kita makan malam bersama. Kok papa jarang pulang belakangan ini?” wajah papa tetap tegas.
“Papa sibuk! Maaf papa harus pergi sekarang.” Ia pun berlalu.
“Pa, papa.....” suaraku lenyap begitu saja. Mobil itu semakin menjauh.
Malam ini ulang tahun mama. Aku telah menyiapkan kado. Kali ini aku ingin memberi mama miniatur payung. Dengan harapan mama mengerti bahwa aku ingin mendapatkan keteduhan bersama-sama seperti dulu lagi. Sudah pukul sebelas malam, mama belum pulang. Kemaren juga tidak pulang. Tapi mama janji malam ini ia akan pulang. Dalam hening aku merenung tentang keadaan keluarga kami akhir-akhir ini. Papa dan mama jarang pulang. Dan yang paling menyedihkan lagi, aku merasa papa membenciku. Papa berubah, berbeda dari papa yang aku kenal semenjak aku mengerti kehidupan dunia ini.
Tik..tik, tikkk... uawhh, aku kaget terbangun sambil melihat jam. Ah, sudah pukul tiga. Berarti mama tidak pulang lagi malam ini. Aku kecewa, tiba-tiba ingin menangis dan tidak bisa kutahan lagi. Merasa disia-siakan, dikecewakan, dan terlupakan.
“Tuhan, temani hamba dalam kepedihan sunyi yang menyakitkan ini,” ucapku lirih. Aku tidak peduli dengan berapa usiaku. Tidak ada aturan tidak boleh menangis di umurku yang sekarang.
***
“Ini syifa?” Laki-laki itu menanyaku seolah kaget dan hampir tidak percaya pada mama. “Iya mas, dia sekarang sudah besar dan sebentar lagi akan jadi sarjana,” jawab mama dengan raut muka yang terlihat senang dan bangga.
“Ayo sayang, duduk dekat mama.” Ajak mama sambil menarik tanganku.
“Ma, Syifa capek banget. Syifa langsung masuk aja ya ma. Om, permisi.” Aku berlalu meninggalkan mereka langsung menuju ke kamar. Di luar terdengar mereka masih bercerita, sesekali mereka tertawa. Sepertinya teman lama mama.
“Mama malam ini ada acara apa?” papa menanyai mama sewaktu kami lagi duduk sore di teras rumah.
“Kamu banyak tugas malam ini sayang?” Tanya papa kepadaku.
“Enggak pa, memangnya ada apa?” Aku menjawab pertanyaan papa dengan semangat. Biasanya papa mengajak makan malam di luar terus jalan-jalan dulu sebelum pulang ke rumah. Di samping kami mama terdiam. Dan aku melihat mama agak gelisah. Papa tersenyum, meraih lalu menyusut kepalaku.
“Kita makan di luar ya,” ajak papa. Aku langsung mengiyakan dengan semangat.
“Ta.. tapi pa, mama gak bisa”. Mama terlihat sangat gugup.
“Mama ada janji sama bu Andien. Malam ini dia mau lihatkan barang-barangnya. Bbi..biasssa, dia baru belanja tas-tas baru. Mama gak enak sudah janji dengannya.” Wajahnya masih menampakkan gelisah dan gugup.
“Gimana kalau pulang dari makan malam kita ke sana ma? Iya kan pa? Kita juga bisa bantu mama milih tasnya,” kataku pada mama.
“Enggak usah. Di sana rame ibu-ibu. Bu Andien kan janda. Masa papa gabung sama ibu-ibu. Mama cemburu dong” kami tertawa. Mama menolak diantar papa.
“Ya sudah kalo gitu. Lain waktu aja kita keluar. Lagi pula biar malam ini papa di rumah aja istirahat.” Sambil memberi senyuman kecil padaku.
“Mmm, ok dech pa.” Jawabku sedikit kesal.
Ketika mama sudah pergi, aku makan berdua sama papa. Kami bercerita tentang aktivitas dan kesibukan masing-masing. Menyenangkan. Keluargaku adalah keluarga yang paling bahagia sedunia kurasakan saat itu. Keluarga penuh cinta. Meski mama tidak ada bersama, tapi kami saling mengerti. Selesai makan kami nonton tv. Papa hanya sebentar dan pamit untuk tidur duluan. Aku masih nonton sendiri sampe pukul 22.00.
***
Aku bertemu laki-laki itu lagi di rumah kami. Kelihatannya mereka menceritakan hal-hal yang menyenangkan karena terdengar sesekali mereka tertawa senang.
“Tuhan, kenapa hati ini begitu resah, gundah menapakkan jejak tanya di hatiku. Entah siapa gerangan laki-laki itu. Tapi ada serpih tanya yang kian menggeliat ingin tahu. Apakah mama berselingkuh? Jangan Tuhan. Lindungi keluarga kami, jangan kau rampas kembali kebahagian yang telah kau anugerahkan pada keluarga kami,” Setelah selesai berdoa, aku langsung ke tempat tidur. Aku ingat papa, juga memikirkan tentang mama. Belakangan ini ketika papa tidak di rumah mama sering menerima tamu laki-laki itu. Entah siapa dia. Tapi mama selalu kelihatan senang setiap bersamanya. Pikiranku bingung. Ada sesuatu yang terjadi di rumah ini. Sesuatu yang aku belum tahu dan membuatku selalu penuh tanda tanya.
Esoknya, aku berangkat ke rumah Zies teman sekampusku. Dia mengundangku dan teman-teman yang lain untuk pesta rujak di rumahnya. Aku ke kamar mama mau pamitan tapi sepertinya mama sudah berangkat duluan. Di jalan aku masih teringat kejadian yang terasa ganjil akhir-akhir ini. Pikiranku kemana-mana.
***
Pandanganku terasa gelap. Tubuh terasa sangat dingin. Perlahan aku nampak bayangan putih berputar dan suara sayup-sayup. Pundakku terasa sakit, senut-senut di kepala yang amat sangat. Aku mendengar isak tangis di samping. Perlahan kubuka mataku. Aku melihat mama.
“kamu sudah sadar sayang??” Mama memegang tanganku. Aku sadar ini rumah sakit.
“Apa yang terjadi ma?” tanya ku dengan suara yang rasanya sangat sulit untuk keluar. Mama menghapus air matanya.
“Kamu kecelakaan sayang. Dua hari yang lalu. Kamu kehilangan banyak darah, untungnya.. untung… ada orang yang bersedia mendonorkan darahnya untuk kamu sayang.” Mama terlihat menyembunyikan sesuatu namun aku tidak mampu untuk menebaknya. Kepalaku masih sangat sakit sekali. Aku teringat papa, lalu menanyakan ke mama.
”Papa mana ma??” tidak kusangka mama malah makin menangis.
“Apa yang terjadi ma?” aku heran. Mama hanya menggeleng kepala.
“Papa ada urusan ke luar kota yang tidak bisa ditinggalkan, kemarin papa sudah ke sini melihatmu sayang.” Akhirnya mama menjawab juga.
Setelah dua minggu akhirnya aku diperbolehkan pulang. Anehnya aku tidak melihat papa. Dan papa juga tidak ada menelpon. Menurut mama papa sangat sibuk. Aku coba untuk mengerti walau sebenarnya ada sedikit kecewa. Seolah-olah papa tidak ingat, tidak sayang kepadaku.
Selama di rumah, laki-laki teman mama itu selalu mengunjungiku. Dia selalu membawakan makanan, buah, dan sering juga menanyakan apakah aku pengen sesuatu. Namun selalu kujawab tidak ada. Aku muak melihatnya. Siapa laki-laki ini? Mengapa dia begitu peduli? Terlintas di pikiranku, mungkinkah mama berselingkuh?. Cepat-cepat kubuang pikiran itu. Mungkin dia memang sekedar teman mama. Teman lama mama. Mungkin..!!!
Kini sudah setahun kecelakaanku. Tidak ada bekas luka yang amat berkesan. Mama mencarikanku obat terbaik. Sehingga semua bisa seperti semula lagi. Yang berubah adalah, setelah kecelakaan itu papa nyaris tidak pernah di rumah. Kadang aku melihat papa memperhatikan aku dengan raut kecewa yang tidak kupahami. Tapi cuma sebentar. Papa kemudian akan pergi lagi. Sedangkan mama semakin dekat dengan pria itu. Belakangan aku tahu namanya Hendri. Dia teman kuliah mama. Dan ternyata juga teman papa. Dia pernah bilang bahwa papa, mama, dan om Hendri berteman sejak masih SMA hingga mereka kuliah. Tapi jurusan mereka berbeda setelah menimba ilmu di universitas.
***
“Mengapa mama akan menikah dengan lelaki itu ma?” Aku tidak kuat lagi untuk tidak ambil pusing tentang keputusan mama. Aku terus mendesak mama.
“Mengapa mama ingin bercerai, mengapa papa membenciku, kenapa ada perceraian ini ma?” Aku menangis, sedih, dan hancur tercabik. Semua hal indah tentang keluargaku sebentar lagi akan tinggal kenangan. Aku kehilangan papa yang bijak, mama yang cerdas dan penyayang.
“Suatu saat kamu akan tahu jawaban dari semua ini, nak.” Jawab mama.
“Tapi kapan, kapan aku bisa tahu semua fakta dari kehancuran ini? Jawab Syifa, ma! sebentar lagi Syifa wisuda ma. Anakmu akan menjadi sarjana ekonomi termuda pada wisuda kali ini. tapi syifa tidak bisa merasa bahagia dengan keadaan seperti ini dan tidak mama, tidak juga papa, kalian sama sekali tidak peduli Syifa lagi ma..” Aku memandang mama yang tetap pada keinginannya.
Aku tidak bisa berhenti menangis. Wisudaku hari ini dikadoi perceraian orang tuaku. Aku berusaha setegar mungkin. Mama bilang tidak bisa datang, stress katanya. Aku menelpon papa, tapi tidak ada jawaban. Aku putus asa dibuatnya. Banyak sekali sms ucapan selamat dari teman-teman. Seharusnya aku bersyukur masih ada yang peduli. Ya, aku masih punya teman dan sahabat..
Sedikit mencoba menghibur diri untuk mengurangi rasa sesak di dada ini, aku menerima tawaran makan siang bareng dari Habib, temanku, di restoran yang tidak berapa jauh dari kampus. Habib terus mengajakku bercerita. Dia tahu aku sedang ada masalah. Dan dia hendak menghiburku.
“Terima kasih, telah mengajakku makan di sini.” Tidak tahu mesti bilang apa lagi, aku kembali diam. Gerrr,..gerrrr, gerrrr... hp ku bergetar, aku minta izin ke Habib untuk melihatnya, dan sms langsung kubuka. Ternyata dari papa. Aku menangis terharu sekali. “Selamat dan sukses Syifa anakku. Papa tau kamu akan selalu jadi yang terbaik. Papa bangga, pernah menjadi papamu. Maaf papa tidak bisa hadir di hari bahagiamu ini. Apapun keadaannya, kamu harus jadi Annisa Luthfiasyifa. Wanita yang penuh kelembutan, menawar pilu dengan kerendahan hati mu.“ Ku ulang sekali lagi membaca sms itu. Ada yang ganjil di sana. Papa mengatakan “papa bangga pernah menjadi papamu”. Aku tidak mengerti... aku tidak sabar lagi. Kutelpon papa, tapi tidak diangkat-angkat. Aku segera minta diantar pulang sama Habib. Dia langsung menurutiku.
Muka mama murung sekali, senyumnya sangat dipaksakan melihat aku pulang. Mama memelukku sangat erat sambil minta maaf dan mengucapkan selamat. Di atas meja, aku lihat ada amplop putih berkop pengadilan agama. Aku paham itu surat perceraian mama dan papa. Aku tidak peduli lagi. Yang ada di benakku adalah kata-kata di sms papa tadi.
“Tolong jelaskan kepadaku ma, ada apa sebenarnya? Siapa papa sebenarnya? Apa aku ini benar anak papa dan mama? Jawab Syifa ma, tolong ma, Syifa sudah cukup menderita, kebingungan dengan masalah yang ada dalam kurun satu tahun ini. Mama dan papa egois, tidak memikirkan aku.” Tangisku meledak lagi, kutatap mama dengan mengharap penjelasan.
“Tabir-tabir yang selama ini tertutup rapi mulai tersingkap kembali setelah mama ketemu lagi dengan om Hendri setahun yang lalu.” Mama melanjutkan ceritanya sambil menengadah ke plafon rumah.
“Papa mu tidak senang akan hal itu. Padahal kami dulunya sahabat. Tabir itu makin tersibak lebih besar, kamu kecelakaan dan kehilangan banyak darah. Saat itu di rumah sakit tidak ada persediaan golongan darah yang cocok denganmu nak. Karena butuh cepat, papa mu siap mendonorkan darahnya. Tapi semua itu makin menyibak rahasia yang selama ini mama jaga rapat-rapat. Darah itu tidak cocok. Waktu itu ada Hendri di sana. Dia juga bersedia memberikan darahnya untukmu, ternyata memang sesuai. Papa mulai curiga dan yakin dengan dugaannya sebelum ini. Dia minta pihak rumah sakit mengecek DNA Om Hendri dan kamu. Hasilnya seperti yang diduga.” Mama menunduk, lalu bertutur perlahan.
“Syifa, sebenarnya Hendri itu ayah kandungmu. Mama telah melakukan kesalahan dalam hidup mama. Sebelum menikah, mama dan papa pernah melakukan hal terlarang itu. Tapi mama tidak hamil. Lalu pada suatu hari Hendri datang dan mama melakukan kesalahan itu lagi. Dan dua minggu kemudian mama positif hamil. Mama yakin itu benih Hendri. Tapi dia sudah berangkat ke luar negeri. Dia melanjutkan S2-nya di Australia. Karena takut melahirkan anak tanpa ayah, mama mengatakan kepada papa mama hamil anaknya. Papamu malah terlihat sangat senang dan kami pun menikah. Maafkan mama syifa. Tapi mama sangat sayang padamu nak.” Mama terisak-isak menjelaskan itu. Sementara aku tanpa kata, tanpa tangis. Air mataku mungkin telah habis. Langit terasa akan runtuh.
Aku terduduk di pojok kamar kosku. Ya, dua minggu yang lalu sejak mama menceritakan masalah itu kepadaku, aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Aku ngeri tiap kali teringat caraku bergaul dengan papa yang selama ini kukira ayah kandungku. Tapi aku lebih bergidik dan hancur luluh bila ingat aku anak di luar nikah. Siapa yang menyangka, anak perempuan yang pintar, cantik, cerdas, dan baik itu anak haram. Entah siapa yang ingin kusalahkan. Mereka benar-benar telah mengecewakan aku. Hari-hariku terasa sangat menyakitkan. Kalau hanya sekedar perceraian biasa yang terjadi pada orangg tuaku, mungkin aku sudah merasa baik sekarang. Tuhanku, padamu hamba berserah. Berikan jalan terbaik untukku dalam ridho mu, ya Rabb..
Namaku Syifa, aku berharap bisa menawar luka ku sendiri.